Aku Adalah Nahkoda Hidupku


Ada sebuah cerita, ada seorang anak sebut saja Fulan yang akan masuk salah satu perguruan tinggi. Fulan bingung menentukan pilihan Universitas mana yang harus dipilih? Kemudian Jurusan apa pula yang harus dia pilih? Teman-teman Fulan banyak yang mendaftarkan ke Universitas XX dan jurusan misalnya: Teknik Informatika (baca: yang terfaforit di wilayahnya) dengan alasan karena kalau kuliah di Universitas ini biayanya murah, tidak jauh karena bisa berangkat dari rumah, fasilitas lumayan, dan seterusnya, kemudian alasan mengambil jurusan tersebut adalah karena jurusan ini punya prospek yang lebih dari pada yang lainnya, lebih dibutuhkan di masa ini, belum banyak saingan, dan seterusnya. Fulan menancapkan dalam benaknya dan benar-benar ingin menjadi seperti apa yang dia harapkan waktu menentukan pilihannya karena dengan tercapainya hal tersebut akan membuat Fulan bahagia.

Mari kita kaji bersama dari contoh di atas,

Apakah Fulan akan bahagia bila dia benar masuk dalam Universitas XX tersebut? Belum tentu, Fulan belum merasa bahagia karena masih merasakan kekurangan karena tidak sesuai dengan yang dia harapkan seperti apa yang dia gambarkan waktu sebelum masuk, misal enakan kuliah di Universitas ZZ, karena disana bukunya banyak, fasilitas lengkap, ada AC nya, ada begini-begitu, dan seterusnya; enakan ngambil jurusan pendidikan, karena bisa jadi guru, matakuliahnya tidak rumit (tidak ada itung-itungan), dan seterusnya; enakan ngambil jurusan Manajemen, karena nantinya bisa jadi manajer, dan seterusnya

Bukan itu saja, Fulan terus membandingkan dan melihat sekelilingnya seperti ini dan itu dan membandingkan dengan dirinya, kok masih seperti ini (baca: belum bisa apa-apa). Ditambah lagi dengan menyalahkan sekelilingnya, misal: emang aku tu bodoh sejak dari lahir, emang aku tu tidak bisa itung-itungan, emang aku tu tidak punya komputer untuk belajar, emang aku tu tidak punya uang untuk beli buku, emang aku tu tidak punya waktu untuk belajar, emang budaya di kampus ini memang seperti ini, dan seterusnya.

Apa yang akan terjadi bila si Fulan ini terus melakukannya sampai dia lulus? Apakah tercapai harapan-harapan seperti yang dia inginkan? Bagaimana perasaannya bila hasil tidak sesuai dengan harapan dia? Tentunya kacau balau bukan? Dia akan merasa tidak berguna, merasa putus asa, gagal, stress, dan parahnya lagi akan menyalahkan keadaan lingkungan atau orang lain, dan seterusnya.

Lantas bagaimana untuk menanggulanginya?

Coba saya tawarkan kepada kawan-kawan sebuah penawar yaitu, “Aku adalah Nahkoda Hidupku”.

Ada sebab ada akibat, hidup adalah pilihan

Apa yang kita rasakan saat ini, entah baik atau buruk, entah menyenangkan atau menyedihkan, merupakan akibat dari sebab kita menentukan pilihan di masa lalu, kemarin atau dua hari yang lalu atau seminggu yang lalu atau sebulan yang lalu atau setahun yang lalu dan seterusnya, misalnya:

  • kita putus pacaran, itu akibat dari pilihan kita waktu dulu karena telah menentukan pilihan untuk pacaran,
  • kita tidak bisa matematika, itu akibat pilihan kita kita waktu dulu untuk tidak belajar matematika dan menganggapnya sulit,
  • kita tidak punya uang, itu akibat dari pilihan kita waktu dulu untuk tidak mencari uang,
  • kita tidak punya teman, itu akibat dari pilihan kita waktu dulu untuk tidak keluar rumah,
  • dan lain sebagainya (baca: setiap apa yang kita rasakan saat ini)

Berhenti menyalahkan dan memulai untuk bertanggung jawab

  • bukan pacar kita yang salah, tetapi mulai bertanggung jawab atas pilihan kita pilihan kita dulu, yaitu menjalin hubungan dengannya, konsekwensinya adalah cemburu, putus hubungan, waktu terporsir untuk pacaran, dan seterusnya
  • bukan matematikanya yang salah, tetapi mulai bertanggung jawab menyadari bahwasannya kita salah menentukan pilihan waktu dulu untuk tidak mau belajar matematika, konsekwensinya adalah kita sekarang tidak bisa matematika
  • bukan keadaan kita yang berasal dari keluarga tidak banyak uang yang disalahkan, tetapi mulai bertanggung jawab atas pilihan kita yang tidak mau mencari uang waktu dulu, konsekwensinya adalah sekarang tidak punya uang.
  • bukan kondisi kita yang kurang bisa bergaul yang salah, tetapi memulai bertanggung jawab atas pilihan kita yang tidak mau keluar rumah, konsekwensinya kita tidak punya teman
  • dan lain sebagainya (baca: setiap apa yang kita rasakan saat ini)

Banyak kita temukan dalam lingkungan kita, orang-orang yang sering menyalahkan yang lainnya. Bukan keadaan yang salah bukan pula orang lain yang salah akan tetapi pilihan kita yang mengakibatkan semuanya. Sekali lagi bukan keadaan atau orang lain yang dikambing hitamkan tapi memulai bertanggung jawab atas pilihan-pilihan kita, dan menyadarinya bahwasannya apa yang kita dapatkan saat ini adalah yang terbaik bagi kita, itulah bersyukur dan ikhlas.

Setiap pilihan-pilihan yang kita pilih akan melahirkan konsekwensi-konsekwensi yang berbeda-beda pula, misalnya:

  • mengambil keputusan untuk pacaran konsekwensinya, misalnya: bisa mengenal lawan jenis, bisa berbagi cerita, bisa memacu semangat, menghabiskan waktu untuk yang tidak jelas, hanya senang-senang saja, cemburu, dan seterusnya
  • mengambil keputusan untuk tidak belajar matematika konsekwensinya, misalnya: tidak bisa matematika, waktu bisa digunakan mempelajari yang lain misalnya, belajar ilmu jiwa, dan seterusnya
  • mengambil keputusan untuk tidak mencari uang konsekwensinya, misalnya: tidak punya uang, waktu bisa digunakan untuk mencari ilmu, waktu bisa digunakan untuk mencari pengalaman, dan seterusnya
  • mengambil keputusan untuk tidak keluar rumah konsekwensinya, misalnya: tidak punya teman, pintar matakuliah karena di rumah belajar, tidak terpengaruh pergaulan bebas, dan seterusnya
  • dan lain sebagainya (baca: setiap apa yang kita rasakan saat ini)

Lantas bagaimana menentukan pilihan yang terbaik?

Pilihan yang terbaik bagi kita adalah hanya kita yang paling tahu tentunya, karena yang paling mengenal diri kita adalah diri kita sendiri bukan atas dasar apa yang dikatakan orang banyak, tatapi diri kita yang paling tahu.

Turuti hati nurani, karena hati nurani yang membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran.

Tanggapi setiap hasil dari pilihan kita adalah yang terbaik bagi kita, karena segala sesuatu yang terjadi pada diri kita ada hikmahnya.

Bersyukur dan ikhlas kita tancapkan dalam diri kita dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, maka akan kita temukan kebahagiaan

Kebahagiaan tidak akan mungkin dapat kita rasakan bilamana kita belum bisa bersyukur dan ikhlas.

Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam artian melakukan sesuatu dengan sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan murni yang bersumber dari hati nurani.

Untuk lebih jelasnya tentang hati nurani, kebahagiaan, bersyukur, ikhlas, kemerdekaan akan saya utarakan lebih lanjut pada posting selanjutnya.

Diterbitkan oleh

andikhermawan

Software Developer

2 tanggapan untuk “Aku Adalah Nahkoda Hidupku”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.